Mengenal Intermittent Fasting: Manfaat, Risiko, dan Cara Memulainya
cannesyoga – Pernahkah Anda merasa lelah dengan rutinitas diet yang mengharuskan Anda menimbang setiap gram dada ayam, menghitung kalori nasi merah, atau merasa bersalah hanya karena mencicipi sepotong cokelat? Dunia nutrisi seringkali terasa rumit, penuh dengan aturan “boleh” dan “tidak boleh” yang justru membuat stres. Namun, bagaimana jika rahasia kesehatan metabolisme dan penurunan berat badan sebenarnya bukan hanya soal apa yang Anda makan, melainkan kapan Anda memakannya?
Bayangkan tubuh Anda seperti sebuah mesin pabrik yang bekerja 24 jam non-stop karena asupan makanan yang terus-menerus masuk. Kapan mesin itu beristirahat? Kapan waktu perawatannya? Di sinilah konsep intermittent fasting atau sering disebut diet puasa masuk ke dalam narasi kesehatan modern. Berbeda dengan diet konvensional yang membatasi jenis makanan, metode ini lebih menekankan pada pengaturan waktu makan.
Tren ini bukan sekadar omong kosong media sosial. Dari eksekutif Silicon Valley hingga atlet profesional, banyak yang telah beralih ke pola makan ini. Namun, sebelum Anda memutuskan untuk melewatkan sarapan besok pagi, ada baiknya kita membedah lebih dalam: apakah ini benar-benar solusi ajaib, atau sekadar tren yang akan berlalu? Mari kita telusuri fakta, sains, dan realitas di balik metode pengaturan jam makan ini.
Bukan Sekadar Menahan Lapar: Apa Itu Intermittent Fasting?
Secara sederhana, intermittent fasting adalah pola makan yang bersiklus antara periode puasa dan periode makan. Tidak ada daftar menu wajib atau larangan makan nasi padang (meskipun makan sehat tetap sangat disarankan). Intinya adalah membagi hari atau minggu Anda ke dalam “jendela makan” dan “jendela puasa”.
Jika dipikir-pikir, ini sebenarnya bukan konsep baru. Nenek moyang kita di zaman purba tidak memiliki kulkas atau aplikasi pesan antar makanan 24 jam. Mereka terbiasa makan saat ada buruan, dan berpuasa saat makanan langka. Tubuh manusia secara evolusi sebenarnya telah dirancang untuk mampu berfungsi tanpa asupan makanan selama periode waktu tertentu.
Dalam konteks modern, diet puasa ini mengembalikan ritme alami tubuh yang seringkali rusak akibat kebiasaan snacking tengah malam. Tujuannya adalah memberikan jeda pada sistem pencernaan dan membiarkan tubuh beralih sumber energi: dari membakar gula (glukosa) dari makanan yang baru disantap, menjadi membakar cadangan lemak yang tersimpan di tubuh.
Ragam Metode: Dari 16/8 hingga The Warrior Diet
Salah satu alasan mengapa intermittent fasting begitu digemari adalah fleksibilitasnya. Anda bisa menyesuaikannya dengan gaya hidup dan jam kerja Anda. Berikut adalah beberapa metode yang paling populer dan terbukti efektif:
-
Metode 16/8: Ini adalah “primadona” dalam dunia diet puasa. Konsepnya sederhana: Anda berpuasa selama 16 jam dan memiliki jendela makan selama 8 jam. Misalnya, Anda mulai makan jam 12 siang dan berhenti makan jam 8 malam. Pagi hari hanya diisi dengan air putih, teh, atau kopi tanpa gula. Ini metode yang paling mudah diadaptasi pemula karena sebagian besar waktu puasa dihabiskan saat tidur.
-
Diet 5:2: Metode ini melibatkan makan secara normal selama 5 hari dalam seminggu, lalu membatasi asupan kalori secara drastis (sekitar 500-600 kalori) pada 2 hari lainnya (tidak berurutan).
-
Eat-Stop-Eat: Ini lebih ekstrem, melibatkan puasa 24 jam penuh sekali atau dua kali seminggu. Misalnya, puasa dari makan malam hari ini hingga makan malam besoknya.
-
Warrior Diet: Anda makan sedikit buah dan sayuran mentah di siang hari, lalu makan satu porsi besar di malam hari dalam jendela waktu 4 jam.
Bagi pemula, metode 16/8 biasanya menjadi gerbang pembuka yang paling masuk akal dan tidak terlalu menyiksa mental.
Sains di Balik Rasa Lapar: Fenomena Autophagy
Mengapa kita harus repot-repot menahan lapar? Jawabannya ada pada tingkat seluler. Saat Anda melakukan intermittent fasting, tubuh tidak hanya sekadar membakar kalori, tetapi melakukan proses pembersihan diri yang disebut Autophagy.
Istilah ini berasal dari Yunani yang berarti “memakan diri sendiri”. Terdengar menyeramkan? Sebenarnya ini hal positif. Saat tidak ada asupan makanan yang masuk selama berjam-jam, sel-sel tubuh mulai memecah dan membuang protein yang rusak atau tidak berfungsi yang menumpuk di dalam sel.
Mekanisme ini sangat penting untuk peremajaan sel dan pencegahan penyakit. Yoshinori Ohsumi, seorang ilmuwan Jepang, bahkan memenangkan Hadiah Nobel pada tahun 2016 berkat penelitiannya tentang mekanisme autophagy ini. Jadi, saat perut Anda berbunyi karena puasa, bayangkanlah bahwa tubuh Anda sedang melakukan “Housekeeping” atau bersih-bersih besar-besaran untuk membuang sampah seluler.
Dampak pada Berat Badan dan Sensitivitas Insulin
Alasan utama orang mencoba diet puasa tentu saja untuk menurunkan berat badan. Namun, mekanismenya lebih cerdas daripada sekadar pengurangan kalori.
Saat Anda makan, tubuh memecah karbohidrat menjadi glukosa, dan hormon insulin bekerja untuk menyimpan glukosa tersebut di dalam sel (sebagai cadangan lemak jika berlebih). Masalahnya, jika kita makan terus-menerus, kadar insulin akan selalu tinggi, sehingga tubuh sulit mengakses cadangan lemak tersebut untuk dibakar menjadi energi.
Dengan berpuasa, kadar insulin menurun drastis. Penurunan ini memberi sinyal pada sel lemak untuk melepaskan gula yang tersimpan agar digunakan sebagai energi. Selain itu, tingkat Hormon Pertumbuhan Manusia (HGH) meningkat pesat, yang juga membantu pembakaran lemak dan pembentukan otot. Kombinasi insulin rendah, HGH tinggi, dan peningkatan noradrenalin inilah yang membuat intermittent fasting menjadi alat pembakar lemak yang ampuh.
Bukan Tanpa Tantangan: Efek Samping “Hangry”
Jujur saja, memulai intermittent fasting tidak seindah foto-foto influencer di Instagram. Minggu-minggu pertama bisa menjadi neraka kecil bagi sebagian orang. Tubuh Anda yang terbiasa mendapatkan asupan gula konstan akan “kaget” dan menagih jatahnya.
Gejala yang umum terjadi meliputi rasa lapar yang hebat, lemas, sakit kepala ringan, dan fenomena hangry (hungry + angry)—mudah marah karena lapar. Otak Anda mungkin akan berteriak meminta camilan pada jam 10 pagi jika itu adalah kebiasaan lama Anda.
Selain itu, ada risiko makan berlebihan (binge eating) saat jendela makan dibuka. Mentang-mentang sudah puasa 16 jam, Anda merasa berhak menghabiskan dua piring nasi goreng dan martabak manis. Ini adalah kesalahan fatal. Jika asupan kalori saat jendela makan jauh melebihi kebutuhan harian, diet puasa tidak akan memberikan hasil penurunan berat badan.
Perhatian Khusus untuk Wanita
Meskipun bermanfaat, intermittent fasting memiliki nuansa berbeda bagi pria dan wanita. Tubuh wanita secara biologis lebih sensitif terhadap sinyal kelaparan karena fungsi reproduksi.
Beberapa studi menunjukkan bahwa puasa yang terlalu ekstrem pada wanita dapat mengganggu keseimbangan hormon, yang berpotensi menyebabkan siklus menstruasi tidak teratur atau bahkan berhenti (amenore). Oleh karena itu, bagi wanita, disarankan untuk memulai dengan pendekatan yang lebih lembut, misalnya jendela puasa 12-14 jam saja, sebelum mencoba durasi yang lebih panjang. Dengarkan tubuh Anda; jika siklus bulanan mulai kacau, itu tandanya metode ini mungkin terlalu keras untuk sistem hormonal Anda.
Siapa yang Sebaiknya Menghindari Metode Ini?
Diet puasa bukan untuk semua orang. Ada kelompok tertentu yang sebaiknya tidak mencoba metode ini tanpa pengawasan dokter yang ketat:
-
Orang yang pernah atau sedang mengalami gangguan makan (eating disorder). Pola puasa bisa memicu obsesi tidak sehat terhadap makanan.
-
Wanita hamil dan menyusui, yang membutuhkan asupan nutrisi konstan untuk janin atau bayi.
-
Penderita diabetes tipe 1 atau mereka yang mengonsumsi obat-obatan tertentu untuk gula darah.
-
Anak-anak dan remaja dalam masa pertumbuhan.
-
Orang dengan berat badan di bawah normal (underweight).
Tips Memulai untuk Pemula
Jika Anda merasa sehat dan siap mencoba tantangan ini, jangan langsung melompat ke puasa 24 jam. Mulailah perlahan. Berikut tips praktisnya:
-
Mulai dari 12/12: Cobalah berhenti makan jam 7 malam dan sarapan jam 7 pagi. Ini sangat mudah dilakukan. Setelah terbiasa, geser sarapan menjadi jam 9 atau 10 pagi.
-
Hidrasi adalah Kunci: Selama periode puasa, Anda wajib minum air. Teh hijau atau kopi hitam (tanpa gula/krim) juga diperbolehkan dan bisa membantu menekan nafsu makan.
-
Prioritaskan Nutrisi: Saat jendela makan terbuka, fokuslah pada makanan padat nutrisi: protein tinggi, serat, dan lemak sehat. Jangan jadikan jendela makan sebagai ajang balas dendam dengan junk food.
-
Sibukkan Diri: Rasa lapar seringkali hanyalah sinyal psikologis atau kebosanan. Tetap sibuk bekerja atau beraktivitas akan membuat Anda lupa waktu makan.
Pada akhirnya, intermittent fasting bukanlah sebuah dogma agama diet yang kaku, melainkan sebuah alat bantu gaya hidup. Ia menawarkan cara pandang baru untuk melepaskan diri dari ketergantungan camilan dan mengembalikan kendali tubuh kepada Anda. Manfaatnya mulai dari penurunan berat badan, perbaikan sensitivitas insulin, hingga “pembersihan” seluler melalui autophagy, sangat sayang untuk dilewatkan.
Namun, ingatlah bahwa diet terbaik adalah diet yang bisa Anda jalankan secara konsisten dalam jangka panjang. Jika diet puasa membuat Anda sengsara, stres, atau justru memicu pola makan tidak sehat saat berbuka, maka mungkin ini bukan metode yang tepat untuk Anda. Konsultasikan dengan ahli gizi atau dokter sebelum memulai perubahan drastis ini, dan temukan ritme yang paling harmonis dengan tubuh Anda sendiri.
